banner 728x250 banner 728x250
Daerah  

Akhir-Akhir Ini Isu Radikalisme Menjadi Pembicaraan Hangat di Masyarakat Karena Memahami Agama Secara Tekstual

PAMEKASAN (pirnas.com & pirnas.org) | Akhir-akhir ini isu radikalisme menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Semua angkat bicara, baik kalangan akademisi, politisi, sampai masyarakat awam juga turut berbicara mengenai isu tersebut.

Banyak faktor yang menjadi penyebab seseorang berpahaman radikal, di antaranya kecenderungan memahami agama secara tekstual dan kurang komprehensif serta kaku dalam berfikir. Faktor lainnya ialah romantisme agama. Kelompok radikal, juga cenderung mengenang kejayaan masa khilafah, melihat kesuksesan revolusi Iran. Seakan-akan Islam pernah menguasai lewat sistem khilafah, sehingga menolak paham lain.

Baca Berita Lainnya :

Keyword dan Negara dengan CPC Tertinggi 2022-2023 Cara Buat Website Dengan Mudah Untuk Pemula

Selain itu, faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya turut menjadi penyebab seseorang berpaham radikal. Tidak sampai di situ, mereka kemudian menjadikan agama sebagai tameng dalam menjalankan aksinya guna mewujudkan harapan kelompok mereka.

Hal ini diungkapkan Ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Palengaan, R. Mukhlis Nasir, saat ditemui NU Online di kediamannya, Dusun Kembang II, Palengaan Daja, Palengaan, Pamekasan, Jumat (08/11/2019).

“Mereka sebenarnya bagian dari kelompok subordinat atau kelompok terpojok. Mereka menjadikan agama sebagai iming-iming yang manis yang menyebabkan pemahaman yang sempit,” papar Ra Mukhlis, sapaan akrabnya.

Sebenarnya, menurut Ra Mukhlis, radikalis ini banyak berlatar belakang Muhammadiyah. Meski demian, lanjut Ra Mukhlis, bukan berarti Muhammadiyah radikal. Namun, di antata para radikalis mengaku Muhammadiyah, seperti Amrozi.

“Kebanyakan yang berpotensi radikal itu adalah orang-orang yang terlahir bukan dari pesantren NU. Semakin sempit pemahamannya maka semakin mudah untuk diajak,” imbuh mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Surabaya itu.

Ra Mukhlis melanjutkan, melihat pengertian secara ekstrem, radikalisme merupakan pemikiran yang cenderung frontal dan sporadis serta menciptakan kader-kader pemberontak.

“Yang paling berperan dalam menanggulangi hal ini adalah tokoh-tokoh pesantren, contohnya: kiai, yang kedua pemahaman sendiri dari masyarakat, yang ketiga pemuda-pemuda Ansor terutama di kalangan Nahdhatul Ulama, yaitu dai-dai ketika berpidato atau menyampaikan dakwahnya di masyarakat mereka harus tidak ragu untuk menyampaikan tentang pemahaman-pemahaman ke-Aswaja-an baik tawassuth (moderat. Red.), tawazzun (seimbang. Red.) dan tasamuh (toleran. Red.). Artinya materi dakwah bukan hanya masalah-masalah fikih, tapi juga masalah pemahaman agama juga disentuh,” pungkasnya.

(Tallim/red)